IKLIM KOTA


            Iklim kota dipengaruhi oleh perkembangan kota yang tidak dapat dilepaskan dari pembangunan fisik kota, akibat pertambahan penduduk kota; serta meningkatnya aktivitas manusia di kota, yang hal ini disebabkan pertumbuhan industri dan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk kota. Menurut Tjasjono (1986), pembangunan fisik dan meningkatnya aktivitas manusia di kota mengakibatkan suhu udara kota semakin tinggi. Perkembangan kota dan industri akan menyebabkan lapisan atmosfer di atasnya menjadi kotor oleh partikel-partikel debu, asap dan lain-lainnya yang disebabkan oleh naiknya jumlah kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik. 
            Berkenaan dengan tingginya suhu di pusat kota, Cahyani (1989)  menunjukkan hasil penelitiannya bahwa luas daerah yang didominir oleh bangunan (91%) berdampak pada kenaikan suhu  menjadi 33,4o C daripada minim bangunan (14%) suhunya 31,1o C. Kondisi ini dipertajam dengan penelitian yang dilakukan oleh Utomo dan Utoyo (1995) tentang pemetaan pulau bahang di Kota Malang, memberikan kesimpulan bahwa faktor jumlah kendaraan, kondisi bangunan, jumlah tumbuhan, dan angin secara nyata mempengaruhi suhu udara pada jam pengamatan 05.30 dan 06.45;  tetapi pada jam pengamatan 14.00, lebar jalan ikut menentukan suhu udara; dan pada jam pengamatan 18.30 yang paling berpengaruh terhadap suhu adalah kondisi bangunan, jumlah tumbuhan dan angin.       BMG memantau kenaikan suhu dalam periode 100 tahun di 20 kota besar di seluruh Indonesia, uniknya, Jakarta bukanlah kota yang mengalami kenaikan suhu tertinggi. Menurut Ratag (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG) bahwa di Surabaya rasionya 1,5-1,6oC, di Medan bahkan sekitar 1,5-1,9oC dan Jakarta 1,4oC per tahun, sedangkan kenaikan suhu bumi per tahun 0,7oC (Syafputri,E. 2007).

            Iklim kota ditentukan oleh karakteristik komponen keruangannya yang kemudian interaksi secara ekological dan kompleks wilayah. Komponen keruangan terdiri dari unsur fisik dan biotik. Unsur fisik ada yang alami tetapi ada juga yang buatan manusia (antropogenik). Indah, Susanti, dkk. (http://io.ppi-jepang.org/2007) menuliskan tentang iklim kota yang dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti: garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, terjadi perubahan bentuk penggunaan lahan yang dapat mengubah iklim mikro kota. Tata guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan.
            Suhu udara kota yang sangat panas dan lembap di siang hari, dan di malam hari tidak terjadi penurunan suhu yang berarti karena suhu udara tertahan pada suhu yang relatif tinggi. Variasi suhu harian ini dapat dinyatakan dengan isoterm harian yang secara kewilayahan dapat terjadi pemusatan suhu panas atau heat island (pulau bahang). Pulau bahang sebagai isoterm tertutup yang pusatnya bersuhu panas (seperti di area pusat perdagangan, terminal dan industri) memberikan dampak pada kenyamanan hidup. Dampak lebih lanjut  akan terjadi pengendapan polutan yang terbawa oleh angin yang memusat ke pusat pulau bahang itu. Dengan demikian adanya pulau bahang, kota akan menuai polutan yang dapat mengganggu kesehatan terlebih mengganggu kenyamanan hidup (Utomo, D.H., 2000). Pulau bahang dapat terjadi juga di wilayah Jakarta jika  menghasilkan akumulasi panas yang terpusat di bagian-bagian tertentu kota.
            Rahmawati, 1998 (http://www.geografiana.com/2007), memberikan informasi bahwa wilayah Jakarta Pusat dan Ancol di Jakarta Utara memiliki kualitas udara paling buruk (tidak sehat) sepanjang tahun. Wilayah Cipedak (Jakarta Selatan) ke arah Selatan relatif memiliki kualitas udara terbaik (sehat) bila dibandingkan dengan wilayah lainnya di DKI Jakarta. Polutan yang dianalisis adalah NOX, SO2, dan SPM10 yang diamati setiap jam selama 1 (satu) tahun.
            Adiyanti, (1993 dalam Wdyawati, 2006) menunjukkan bahwa suhu harian Jakarta di daerah pinggiran seperti di Pasar Minggu dan tengah kota atau di sekitar Bandara sangat berbeda. Pada daerah pinggiran kota, perbedaan suhu siang dan malam hari hanya sekitar 4,95° C. Di tengah kota, perbedaan tersebut sangat besar hingga mencapai 7,30° C. Perbedaan suhu juga disebabkan oleh tutupan lahan di sekitarnya. Pada daerah dengan tutupan lahan rumput ataupun pepohonan, suhu udara tidak menunjukkan fluktuasi yang tajam antara siang dan malam hari. Sementara daerah dengan gedung-gedung tinggi ataupun tutupan aspal yang terbuka menunjukkan fluktuasi suhu yang tajam (Widyawati, dkk. 2006. http://www.geografiana.com/).
            Selama perioda 1901-2002 Jakarta mengalami kecenderungan positif variasi suhu bulanan yang sangat signifikan yaitu dengan persamaan regresi y = 0.0012x + 26.169. Demikian juga halnya untuk kondisi suhu udara tahunan Jakarta terlihat peningkatan yang sangat signifikan dengan adanya kecenderungan positif yang dinyatakan oleh persamaan regresi y = 0.0147x - 1.8513.  Kenaikan suhu udara Jakarta tersebut tampaknya terjadi sejalan dengan perkembangan kota Jakarta yang diiringi oleh peningkatan urbanisasi, peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebagai transportasi, dan perubahan tata guna lahan dalam pembangunan sarana dan prasarana kota Jakarta. Kalau kita lihat perbandingan suhu udara bulanan di Jakarta pada masa kini (1973-2003) tampak nyata kecenderungan yang positif untuk suhu udara terjadi lebih tinggi dibandingkan dengan Jakarta pada masa lalu (1901-1930).  Adapun persamaan regresi untuk kecenderungan suhu udara bulanan Jakarta pada masa lalu adalah y = 0.0013x + 26.156, sedangkan persamaan regresi untuk masa kini adalah y = 0.0031x + 26.901 (lely @bdg.lapan.go.id/ akses 16 Mei 2009).
SUMBER:
oleh: Dwiyono Hari Utomo
(Dosen Jurusan Pendidikan Geografi UM Malang)

Cahyani, W. 1989. Studi Tentang Kepadatan Bangunan dan Kepadatan Ruang      Terbuka Hijau (RTH) Pengaruhnya Terhadap Tinggi Rendahnya     Temperatur Udara di Kotamadya Malang. Skripsi. IKIP Malang (tidak             dipublikasikan).



Komentar