Pengertian
Geografi perdesaan dapat dipandang
secara etimologi sebagai berikut yakni; Geografi dan Perdesaan.
Tinjauan
Tentang Pengertian Geografi
Sebutan
geografi ini secara Historis telah mulai dikembangkan oleh para pakar yunani
kuno, pertama kali dikembangkan oleh Erastotenes(276-196 SM) dengan hasil
karyanya yang berjudul Geografika(Surhayono.1994;1). Geografi berasal dari
bahasa Yunani: geo berarti bumi dan grafhein berarti tulisan. Jadi secara
harfiah, geografi berarti tulisan tentang bumi. Oleh karena itu, geografi
sering juga disebut ilmu bumi. Akan tetapi, yang dipelajari dalam geografi
bukan hanya mengenai permukaan bumi saja, melainkan juga berbagai hal yang ada
di permukaan bumi, di luar bumi, bahakan benda-benda di ruang angkasa pun turut
menjadi objek kajian geografi.
Alexsander dan Gibson dalam Surhayono,1994;12.
Mengemukakan bahwa geografi merupakan disiplin ilmu yang menganalisis variasi
keruangan dalam artian kawasan-kawasan (region)
dan hubungan antara variable-variable keruangan.
Menurut
armin K. Lobeck dalamSurhayono.1994;13. Mengatakan geografi adalah “the study of relationships exsiting between
life physical environment”, yakni sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan-hubungan yang ada antara kehidupan dan lingkungan fisiknya
Menurut
SEMLOK tahun 1988 dalam Surhayono.1994;15. Dikatakan geografi merupakan ilmu
yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut
pandang kelingkungan dan kewilayahan dalam kontek keruangan
Menurut
penulis sendiri geografi pada dasarnya
adalah ilmu yang mempelajari bumi
meliputi fenomena-fenomena yang ada
dibumi yaitu fenomena geosfer, meliputi fenomena fisik dan sosial yang saling
berinteraksi dalam sutu region,
dipandang dengan menggunakan pendekatan kelingkungan dan kewilayahan dengan
kontek keruangan, meliputi; time bases
analisis, space bases analisysis
dan time space based analisis.
Dari
pengertian terkandung Ciri khas yang membedakan ilmu geografi dengan ilmu
lainnya yakni; Geografi dalam mempelajarinya selalu menekankan pada obyek pengkajian yakni unit permukaan bumi(geosfer)
dalam suatu region meliputi unit fisik dan sosial yang saling berinteraksi,
dipandang dengan sudut pandang kewilayahan, dan kelingkungan dan kontek
keruangan.
Tinjauaan
Tentang Pengertian Perdesaan
Untuk
mengetahui pengertian mengenai perdesaan kita melangkah dulu dari pengertian
desa itu sendiri. Beberapa pengertian Desa
menurut para ahli;
Menurut
Soetardjo
Kartohadikoesoemo istilah desa dapat diartikan ke dalam tiga
istilah yaitu desa,
dusun,
dan desi yang
semuanya berasal dari suku kata swa
desi. Istilah ini sama maknanya dengan negara,
negeri,
nagari yang
berasal dari kata nagaram.
Istilah ini berasal dari kata sanskrit
yang
berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran(Hartono, 2009).
Pengertian desa hanya berlaku secara representatif (mewakili)
bagi semua desa yang ada di dunia. Hal ini disebabkan karena setiap desa
menunjukkan karakteristiknya masing-masing atau ciri khas yang dimiliki oleh
desa tersebut.
Dalam
Bahasa Inggris, desa adalah village. Menurut Paul H. Lubis dalam
rahardjo(1999) dalam Sriartha(2004) mendifinisikan desa dilihat dari tiga sudut
pandang, yaitu:
1.
Analisa statistik, desa adalah
lingkungan yang berpenduduk kurang dari 2500 orang.
2.
Analisa sosial psikologik, desa merupakan
lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan akrab dan serba informal.
3.
Analisa ekonomik, desa adalah lingkungan
yang penduduknya kepada pertanian.
Menurut
Bintarto dalam Sriartha (2004) mengemukakan bahwa desa merupakan lingkungan
tempat tinggal penduduk (bukan pusat perdagangan atau bisnis) yang mata
pencahariannya utamanya di bidang pertanian.
Dilihat
dari perspektif hukum (adat) dan administratif, menurut pendapat Sutardjo Kartohadikoesumo
dalam Bintarto (1984) dalam Sriartha (2004), desa merupakan kesatuan hokum
dimana bertempat tinggal masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan
sendiri. Pengertian itu sama dalam Inpres Nomor 5 Tahun 1976, yaitu desa
merupakan masyarakat hukum yang setingkat dengan nama asli lainnya dalam
pengertian teritorial administratif langsung di bawah kecamatan.
Dalam
undang-undang nomor 5 tahun 1976 dijelaskan bahwa desa merupakan suatu wilayah
yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dilihat
dari perspektif geografi, desa merupakan wilayah yang terbentuk melalui unsur-unsur
geografi. unsur tersebut meliputi bentang alam fisik, bentang buatan
manusia penduduk dan unsur tata
kehidupan. Bentang alam fisik seperti tanah, air, iklim, topografi
termasuk lokasi dan tumbuhan. Bentang
buatan manusia seperti jalan, gedung, jembatan dan sebagainya. Dari segi
penduduk desa, menyangkut jumlah, komposisi, persebaran, dan kualitasnya. Terakhir yaitu dari segi unsur tata
kehidupan, yaitu menyangkut sistem niali budaya dan kelembagaan masyarakat.
Kharakteristik Suatu Desa
Karakteristik
atau ciri-ciri desa dapat dianalisa dari usul-usul, pengertian atau unsur-unsur
desa itu sendiri. Unsur-unsur desa terdiri dari bentang alam, unsur bentang
buatan, penduduk, dan tatanan kehidupan. Ciri-ciri desa menurut
sriartha,2004;5-6. Dapat diungkap 4 usur
desa, meliputi;
a)
Desa dan masyarakat sangat erat
kaitannya dengan alam,
b)
Bentang buatan di desa yang mencangkup
prasarana dan sarana sosial ekonomi(seperti jalan raya, sekolah, rumah sakit,
tempat ibadah, pasar). Dan pemukiman penduduk, menggambarkan keadaan yang
sederhana dan tidak padat.
c)
Penduduk desa menunjukan ciri-ciri;
1.
kepadatan penduduk berada pada kategori
tidak padat hingga cukup padat.
2.
aktifitas ekonominya bersifat primer,
yaitu menghasilkan bahan/produksi pertanian
3. interaksi
sosial bersifat akrab, kekeluargaan. Bintarto(1984) dan Daldjoeni (1998) dalam
Sriartha (2004). Menyatakan hubungan antar pribadi masyarakat desa lebih
bersifat peguyuban dan gotong royong
4.
stratifikasi sosial, diferensiasi sosial
masyarakat desa bersifat relative homogen.
d)
Tatanan kehidupan masyarakat desa lebih
mengutamakan sistem nilai dan adat iistiadat setempat untuk mengatur tata
kehidupannya
1. Menurut Lowrrey Nelson
dalam Indah (2009), ada 16 ciri
khas desa:
a)
Mata
pencaharian : agraris homogen
b)
Ruang
kerja : terbuka, terletak disawah, ladang dan sebagainya
c)
Musim/
cuaca : sangat penting untuk menentukan masa panen
d)
keahlian/
ketrampilan : umum dan merata untuk setiap orang
e)
kesaatuan
kerja keluarga : sangat umum
f)
jarak
rumah dengan tempat kerja : berdekatan
g)
kepadatan
penduduk : rendah atau sedikit
h)
besarnya
kelompok : sedikit atau kecil
i)
kontak
sosial : sedikit
j)
rumah
: tradisional
k)
lembaga
/ institusi : kecil / sederhana
l)
kontrol
sosial : adat istiadat, kebiasaan
m)
mobilitas
penduduk : rendah
n)
status
sosial : stabil
2. Menurut Soerjono Soekanto
dalam Indah (2009) ciri khas desa:
a) Kehidupan masyarakat sangat erat
dengan alam
b) Kehidupan petani sangat bergantung
pada musim
c) Desa merupakan kesatuan social dan
kesatuan kerja
d) Struktur perekonomian bersifat
agraris
e) Hubungan antar anggota masyarakat
desa berdasar ikatan kekeluargaan
f) Perkembangan social relatif lambat
g) Kontrol sosial ditentukan oleh moral dan hukum
informal
h) Norma agama dan adat masih kuat
Kata
perdesaan diambil dari bahasa Inggris yaitu rural
yang artinya seperti desa atau seperti di desa kalau diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Sehingga secara umum dikenal dalam istilah Indonesia adalah
perdesaan. Hal ini dapat dilihat dalam realitanya suatu daerah yang lokasinya
di kota tetapi kehidupan masyarakat dan lingkunganya seperti di desa, maka
daerah tersebut disebut dengan rural
bukan kota.
Kawasan
perdesaan (rural) adalah wilayah
yang mempunyai kegiatan utama berupa pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan,
pelayanan sosial,
dan kegiatan ekonomi.
Kawasan perdesaan (rural) adalah wilayah
yang mempunyai kegiatan utama berupa pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan,
pelayanan sosial,
dan kegiatan ekonomi.
Perdesaan
merupakan daerah (kawasan) desa. Ada istilah lain yang sering kita dengar yaitu
pedesaan dan kedesaan. Pedesaan
merupakan daerah permukiman penduduk yang sangat dipengaruhi oleh kondisi
tanah, iklim, dan air sebagainya, yang menjadi syarat penting bagi terwujudnya
pola kehidupan agraris penduduk di tempat itu. Sedangkan, kedesaan merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan sifat atau keadaan desa; perihal daerah (http://alkitab.sabda.org/lexicon.php?word=kedesaan,
2010).
1. Ditinjau
dari penduduknya, desa merupakan lingkungan yang berpenduduk kurang lebih 2500
orang.
2. Ditinjau
dari ekonomi, desa adalah lingkungan yang penduduknya bergantung kepada
pertanian. Menurut Bintarto dalam Sriartha (2004) mengemukakan bahwa desa
merupakan lingkungan tempat tinggal penduduk
yang mata pencahariannya utamanya di bidang pertanian bukan sebagai
pusat perdagangan atau bisnis.
3. Ditinjau
dari perspektif hukum, menurut pendapat Sutardjo Kartohadikoesumo dalam
Bintarto (1984) dalam Sriartha (2004), desa merupakan kesatuan hukum dimana
bertempat tinggal masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
Pengertian itu sama dalam Inpres Nomor 5 Tahun 1976, yaitu desa merupakan
masyarakat hukum yang setingkat dengan nama asli lainnya dalam pengertian
teritorial administratif langsung di bawah kecamatan. Dalam undang-undang nomor
5 tahun 1976 dijelaskan bahwa desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di
bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Ditinjau
dari perspektif geografi, desa merupakan wilayah yang terbentuk melalui
unsur-unsur geografi. Unsur tersebut meliputi bentang alam fisik, bentang
buatan manusia penduduk dan unsur tata
kehidupan. Bentang alam fisik seperti tanah, air, iklim, topografi
termasuk lokasi dan tumbuhan. Bentang
buatan manusia seperti jalan, gedung, jembatan dan sebagainya. Dari segi
penduduk desa, menyangkut jumlah, komposisi, persebaran, dan kualitasnya. Terakhir yaitu dari segi unsur tata
kehidupan, yaitu menyangkut sistem niali budaya dan kelembagaan masyarakat.
Adapun
ciri-ciri perdesaan ditinjau dari:
- Ciri Fisik
•
Wilayah yang
agraris, artinya sebagian besar penduduknya bekerja di sector pertanian.
- Ciri Sosial
•
Masyarakat
yang religius, artinya masyarakat yang taat pada agama yang dianutnya.
Melakukan ibadah seperti masyarakat Hindu Bali pada umumnya di perdesaan
melaksanakan odalan di pura.
•
Gotong royong
yang kuat, masyarakat memegang teguh sistem gotong royong, seperti halnya dalam
pembuatan jalan setapak menuju lahan-lahan pertanian.
•
Hubungan
kekerabatan kuat
•
Hidup
tergantung pada sektor pertanian
- Ciri Geografis
•
Pemukiman yang
tidak terlalu padat
•
Sarana dan
prasarana transportasi yang langka, seperti zaman dahulu memanfaatkan hewan
(kuda, gajah, sapi, kerbau dan sebagainya). Namun sekarang sudah beralih ke
alat yang lebih modern seperti mobil angkutan dan sepeda motor.
•
Pola penggunaan lahan yang tidak padat
.
Fenomena
di Perdesaan
Fenomena
(masalah atau gejala) adalah segala sesuatu yang
dapat kita lihat, atau alami, atau rasakan. Suatu kejadian adalah suatu
fenomena. Suatu benda merupakan suatu
fenomena, karena merupakan sesuatu yang dapat kita lihat. Adanya suatu
benda juga menciptakan keadaan ataupun perasaan, yang tercipta karena
keberadaannya (Anonim, 2010). Ada beberapa fenomena di perdesaan antara lain:
a)
Fenomena
social
Kehidupan
social merupakan ciri khas dari penduduk yang berada di perdesaan, adanya
interaksi antar berbagai penduduk menjadi sangat penting peranannya dalam
kehidupan sehari-hari di perdesaan. Adapun fenomena yang nampak di perdesaan
seperti gotong royong dalam pembuatan jalan atau saat ada upacara keagaman
seperti pembuatan penjor di pura, ngayah di pura, dan sebagainya.
Kehidupan sosial
masyarakat desa tradisional yang hidup di daerah-daerah pertanian pedalaman
hidup dalam komunitas-komunitas yang cenderung bersikap “tertutup”, serta
dengan semangat kelompok yang kuat, karena mereka menganggap bahwa eksistensi
(keberadaan) individu terletak di dalam kehidupan berkelompok atau
bermasyarakat. Oleh sebab itu kehidupan individu perlu diatur dalam bentuk
organisasi (Anonim, 2010).
b) Fenomena pertanian
Pertanian
di perdesaan dalam bentuk perkebunan, perladangan dan perhutanan. Masyarakat perdesaan sebagaian besar dihidupi oleh hasil
pertanian. Adapun komoditi (hasil pertanian) berupa tanamam kopi, cengkeh,
pala, merica, dan sebagainya, Sayur-sayuran dan buah-buahan, dan kayu yang
diperoleh dari kebun penduduk.
c)
Fenomena
transportasi
Aspek
aksesibilitas (dalam hal transportasi) di desa merupakan faktor penting untuk
menunjang aktivitas ekonomi, pada faktanya masih banyak desa memiliki
aksesibilitas yang buruk yang menjadi penghambat dalam penditribusian hasil
pertanian. Padahal aksesibilitas tersebut berfungsi sebagai jalur penghubung
terjadinya aliran barang dan jasa (aktivitas ekonomi). Melalui peningkatan
aksesibilitas di desa seperti pembangunan jalan dan jembatan, pemberdayaan
potensi sumber daya yang terdapat di desa dapat dikembangkan secara optimal.
Adanya kemudahan akses tersebut juga bisa menjadi faktor penarik bagi pihak
pemerintah dan swasta untuk bermitra dan mengembangkan aspek unggulan desa yang
bersangkutan (http://anggigeo.wordpress.com/,
2010).
Sarana transportasi yang dapat kita lihat di
perdesaan yang akses jalannya buruk, biasanya memanfaatkan hewan seperti gajah,
kuda, dan sebagainya. Tergantung dari topografi suatu wilayah perdesaan. Namun
di era sekarang karena semakin meluasnya pembuatan jalan ke daerah terpencil
atau di perdesaan yang terpencil, maka sarana angkutan berupa mobil angkut,
truk, sepeda motor dan sebagainya sudah
bisa dimanfaatkan dengan baik.
d) Fenomena permukiman
Terbentuknya pola
permukimam dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, keadaan sosial ekonomi,
serta keadaan budaya penduduk perdesaan.
Daerah-daerah yang
memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut tempat kediaman penduduk dalam satu
kelompok. Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran
rendah menjadi sasaran penduduk untuk bertempat tinggal. sebuah sumber air bisa
menjadi tempat pemusatan penduduk.
Daerah-daerah banjir
merupakan pemisah antara permukiman perdesaan satu dengan lainnya.
Daerah-daerah dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk desa tersebar.
Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap
tempat, sehingga perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat
yang ada.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi tipe permukiman memusat antara lain permukaan lahan yang datar,
lahan yang subur, curah hujan yang relatif kurang, kebutuhan akan kerjasama,
ikatan sosial-ekonomi, agama atau kepercayaan, tipe pertanian, lokasi industri
dan mineral. Disamping itu dinyatakan, bahwa pola permukiman dipengaruhi oleh fisiografis
(keadaan fisik) wilayah, seperti relief, sumber air, jalur drainase, kondisi
lahan (Wuryanto Abdullah dan Su Rito Hardoyo, 1981). Pendapat dan pernyataan di
atas menunjukkan adanya tiga kelompok penting dalam pola permukiman, yakni pola
mengelompok, pola acak dan pola tersebar merata Selain itu, tampak pula bahwa
relief, kesuburan lahan dan sumber air, merupakan komponen lingkungan alam yang
dominan dalam mempengaruhi pola permukiman, di samping kondisi sosial-ekonomi
dan kebudayaan, seperti tata guna lahan, tipe pertanian, penyakapan lahan,
prasarana transportasi dan komunikasi, kepadatan penduduk, lokasi mineral dan
industri, keamanan, politik, sistem pembagian waris dan agama atau ideology (http://slametteguh.blogspot.com/2009/02/pola-permukiman.html).
Ditinjau dari letak ketinggian wilayah, tampak
faktor ini mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas lahan. Dengan
pernyataan lain, semakin meningkatnya letak ketinggian tempat, menyebabkan semakin berkurangnya lahan-lahan
datar. Sandy (1977) menyatakan bahwa di sekitar ketinggian sama dengan atau
lebih besar dari 100 meter, biasanya topografi lebih kasar daripada di
bawahnya. Dengan demikian berarti, bahwa semakin meningkatnya letak ketinggian
tempat di suatu wilayah, maka semakin meningkat pula kekasaran topografinya, keadaan
permukaan air sumur juga semakin dalam, sehingga kemungkinan untuk terjadinya
pengelompokan permukiman secara teratur maupun penyebaran secara teratur sangat
kecil. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat
pada suatu wilayah, pola permukiman semakin tersebar terjadi secara tidak
teratur.
Sejalan dengan
pernyataan Sandy (1977), bahwa kemampuan untuk menempuh jarak di perdesaan,
ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk berjalan kaki. Dengan demikian,
adanya perluasan lahan pertanian dan peningkatan efektivitas kerja, yang
disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dapat mempengaruhi
terhadap penyebaran pola permukiman. Terdapatnya permukiman dalam artian sempit
di suatu wilayah, tentu disebabkan oleh adanya kemungkinan untuk hidup bagi
masyarakat kampung yang bersangkutan, sesuai dengan keahlian ataupun keterampilan
mereka. Makin besarnya kemungkinan untuk hidup yang diberikan suatu wilayah,
semakin besar pula kemungkinan jumlah manusia yang tinggal di wilayah tersebut,
atau semakin besar pula terjadinya pemusatan penduduk wilayah tersebut.
Apabila ditinjau dari
perkembangan bentuk-bentuk penggunaan lahan untuk usaha pertanian rakyat di
pedesaan, sebagaimana dikemukakan Sandy (1977), bahwa perkembangan tertinggi
dari usaha pertanian kecil di Indonesia adalah persawahan dengan pengairan
teratur, apabila memungkinkan penduduk akan membuat sawah pada medan dengan
lereng yang bagaimanapun, baik rawa, lereng gunung dan apalagi daerah datar.
Dengan demikian, daerah-daerah usaha pertanian lahan sawah merupakan daerah
pusaatan penduduk yang terbesar. Adanya perbedaan bentuk penggunaan lahan dalam
usaha pertanian, dengan sendirinya memerlukan tingkat pengolahan serta tingkat
kebutuhan tenaga, kerja yang berbeda-beda pula Dalam hal ini ditunjukkan bahwa
lahan merupakan. Dalam dan jenis penggunaan yang paling intensip. Artinya
pemakaian tenaga kerja dalam bentuk usaha lahan sawah akan lebih besar dari
usaha pertanian lahan kering, seperti tegalan, kebun campuran maupun usaha
perkebunan kecil. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja ini, dilakukan
dengan sistem pertukaran jasa. (barter tenaga sesama mereka). Sifat
kegotongroyongan pada usaha pertanian lahan sawah, menuntut suatu kehidupan
sosial yang saling berdampingan antara sesama keluarga petani. Hal ini,
menuntut pula terjadinya pengelompokan permukiman pedesaan di sekitar lahan
sawah, dan sebaliknya terjadi pola-pola permukiman yang menyebar pada
penggunaan lahan pertanian lahan kering.
Berbagai pendapat di
atas menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi pola permukiman di
perdesaan, antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air
sumur, curah hujan, kepadatan penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan
pertanian dan persentase luas lahan sawah dari seluruh luas lahan pertanian. (http://slametteguh.blogspot.com/2009/02/pola-permukiman.html).
Pendekatan dalam Mengkaji Perdesaan
Ditinjau dari
pendekatan keruangan, sebelum membahas lebih lanjut perlu kita ketahui
pengertian pendekatan keruangan, yaitu suatu analisis yang perlu
memperhatikan penyebaran, penggunaan
ruang dan perencanaan ruang. Dalam analisis keruangan mengkaji ruang di suatu
tempat atau wilayah yang terdiri dari data titik (point), data bidang (areal)
dan data garis (line) meliputi jalan dan sungai. Contohnya persebaran
perkebunan kopi, cengkeh, kelapa dan sebagainya.
- ASAL USUL TERBENTUKNYA DESA
Desa sama artinya dengan udik. Menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi
permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia,
istilah desa adalah pembagian
wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan,
yang dipimpin oleh Kepala Desa, sedangkan di Kutai Barat,
Kalimantan Timur disebut Kepala Kampung atau
Petinggi. Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut
dengan nama lain, misalnya di Sumatera
Barat disebut dengan istilah nagari, dan di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan
Timur disebut dengan istilah kampung.
Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain
sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan
salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat
istiadat setempat (http://id.wikipedia.org/wiki/Desa,
2010).
Munculnya pertanian
atau bercocok tanam secara menetap merupakan revolusi kebudayaan manusia.
Proses yang diperlukan untuk membentuk sebuah desa memerlukan proses perubahan
dalam waktu yang sangat panjang. Dalam proses perubahan itu, terjadi beberapa
kali loncatan gelombang perubahan yang disebut revolusi kebudayaan. Menurut
Koentjaraningrat (1986) dalam Sriartha (2004) sejak 80.000 tahun yang lalu
ketika manusia menampakkan bentuknya sebagai Homo Sapiens telah terjadi tiga
kali revolusi kebudayaan manusia, yaitu revolusi pertanian yang terjadi pada
10.000 tahun yang lalu, revolusi perkotaan yang terjadi pada 4000 tahun yang
lalu, dan revolusi industri yang terjadi pada pertengahan abad ke-17.
Sebelum manusia
menemukan kepandaiannya di bidang bercocok tanam secara menetap, cara hidup
mereka masih dalam taraf food gathering
economics, seperti kegiatan berburu, menangkap ikan dan meramu. Mereka
hidup mengembara dalam kelompok-kelompok yang tidak permanen. Mereka belum
mampu mengembangkan organisasi sebagai suatu tatanan masyarakat yang teratur.
Dengan ditemukannya system bercocok tanam secara menetap , memaksa manusia
untuk tinggal secara menetap guna menjaga tanaman dan hasil panennya. Dalam
pola tinggal menetap mereka saling berinteraksi secara kontinyu dan teratur
yang selanjutnya terakumulasi menjadi suatu tatanan hidup bersama yang
melahirkan desa. Dengan demikian revolusi kebudayaan dalam bentuk penemuan
bercocok tanam menetap merupakan tonggak lahirnya sebuah komunitas desa.
Sampai saat ini belum
diketahui secara pasti dimana lokasi pertama kali ditemukannya budaya bercocok
tanam secara menetap. Dilihat dari ukuran bumi yang begitu luas dan bentuk
kenampakan serta lingkungan geografisnya yang tidak sama di berbagai tempat,
maka dapat diduga manusia zaman dahulu
tidak hanya hidup di satu tempat saja , melainkan mereka hidup secara terpencar
atau terpisah satu sama lainnya. Karena itulah, muncul sitem bercocok tanam
secara menetap dan desa terjadi di beberapa tempat di permukaan di bumi yang tidak
saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Hasil-hasil studi dari
sejumlah ahli seperti N I Vavilov dan GP Murdock dalam Rahardjo(1999) dalam
Sriartha (2004), menyatakan bahwa kepandaian bercocok tanam tidaklah ditemukan
di satu tempat, melainkan di berbagai tempat yang berbeda, terlepas satu sama
lain dan dengan jenis tanaman yang berbeda pula. Berlandaskan pada hasil studi
tersebut, Koentjaraningrat dalam Rahardjo(1999) dalam Sriartha (2004),
menyimpulkan adanya delapan daerah atau lokasi pusat penyebaran kegiatan
bercocok tanam, yaitu;
1) Daerah
sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti Mekong, Irawadi, dan lainnya.
2) Daerah
sungai-sungai di Asia Timur seperti Yang Tse, dan Hoang Ho.
3) Daerah
sungai-sungai di Asia Barat Daya seperti Tigris, dan Eufrat.
4) Daerah
laut Tengah terutama Mesir, dan Palestina.
5) Daerah
Afrika Timur terutama Abesinia.
6) Daerah
Afrika Barat sekitar hulu Sungai Senegal.
7) Daerah
Meksiko Selatan
8) Daerah
Peru di Amerika Selatan.
Tiap
daerah pusat penyebaran ini mengembangkan dan menyebarkan jenis tanaman
tertentu, seperti daerah di Sungai Asia Tenggara merupakan daerah asal mula
tanamam padi dan keladi. Daerah Asia Barat Daya merupakan daerah asal varietas
gandum yang khusus seperti barley.
Dari delapan pusat inilah kemudian budaya bercocok tanam itu menyebar ke
berbagai daerah lainnya di seluruh permukaan di Bumi. Oleh karena itu, budaya
bercocok tanam itu diwadahi dalam bentuk desa-desa kecil maka delapan daerah
pusat tersebut juga merupakan asal mula terbentuknya desa yang kemudian menyebar
ke berbagai tempat di muka bumi (Sriartha, 2004) .
C. TIPOLOGI DAN STRUKTUR DESA
Tipologi desa secara umum
Menurut Yayuk dan Mangku (2003), tipologi
desa sesuai dengan mata pencahariannya sebagai berikut:
1. Desa
pertanian,
Ada
dua pengertian, dalam artian sempit dan dalam artian luas. Dalam artian sempit:
a) Desa
pertanian berlahan baasah, contohnya sawah irigasi.
b) Desa
pertanian berlahan kering, contohnya sawah tadah hujan.
Desa
pertanian dalam artian luas:
a) Desa
perkebunan, pemiliknya adalah masyarakat, yang dikelola secara konvensional.
b) Desa
perkebunan, pemiliknya adalah swasta, yang dikelola secara profesioanal dengan
sistem bagi hasil.
c) Desa
nelayan yang mana terdapat petani tambak dan perikanan darat
d) Desa
nelayan yang mana terdapat perikanan (di pantai dan di laut)
2. Desa
peternakan
Merupakan
desa yang penduduknya mempunyai mata pencaharian utama adalah peternakan. Namun
saat ini tidak ada satu pun desa yang memiliki homogenitas. Meski ada mata
pencaharian lain, peternakan merupakan mata pencaharian utama.
3. Desa
industri
Dapat
dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Desa
industri, memproduksi alat pertanian secara tradisional maupun modern, sistem
upah sesuai dengan manejemen masing-masing.
b) Desa
industri, masyarakat memproduksi barang-barang kerajinan seperti perabot rumah
tangga, yang terbuat dari kulit, rotan, bambu, maupun kayu dengan ukiran.
Tipologi
Desa Berdasarkan Tempat Tinggal
Menurut
Yayuk dan Mangku (2003) dijelaskan bahwa, berdasarkan tempat tinggal perdesaan
terdiri dari desa pegunungan, desa pantai, desa perbatasan, desa dataran rendah, dan juga sungai.
Desa pegunungan berada di daerah
pegunungan atau minimal berada di daerah yang lebih tinggi dari tempat yang
lainnya. Desa ini pada umumnya berada di sekitar lereng pegunungan dan terpisah
dengan desa dataran.
Desa pantai berada di wilayah pantai.
Nelayan merupakan mata pencaharian utama dari penduduknya.
Desa
dataran rendah dicirikan dengan mayoritas dataran berupa
hamparan luas dengan ketinggian permukaan laut tidak terlalu tinggi. Ciri
lainnya yaitu terdapat hamparan persawahan yang luas. Padi merupakan tanamam
utama di daerah desa ini.
Desa
sungai pada umumnya masih sedikit, di Indonesia ada di
daerah pedalaman Kalimantan yang mengambang di sungai.
Dari berbagai
kharakteristik desa tersebut di atas maka diperlukan pemahaman untuk keperluan
pembangunan di bidang pertanian.
Tipologi
desa berdasarkan luas dan kepadatan penduduknya
Klasifikasi desa dalam Sriartha (2004;11-12) mengungkapkan bahwa
desa dapat diklasifikasikan berdasarkan luas daerah desa dan kepadaatan
penduduknya.
Berdasarkan kepadatan penduduk :
·
Desa
terkecil, kepadatan 100/1 km2
·
Desa
kecil, kepadatan penduduk < (kurang dari) 500/1 km2
·
Desa
sedang, kepadatan penduduk 500-1500/1 km2
·
Desa
besar, kepadatan 1500-3000/1 km2
·
Desa
terbesar, kepadatan > (lebih dari) 3000/km2
Berdasarkan luas desa, ada 5 yaitu :
1. Desa sangat kecil, luasnya 0-1 km2
2. Desa kecil, luasnya 2-4 km2
3. Desa sedang, luasnya 4- 6 km2
4. Desa besar, luasnya 6-8 km2
5. Desa terbesar, luasnya > (kurang
dari) 8 km2
Menurut Lufti (2002) dalam Sriartha (2004) di dalam penelitiannya,
mengenai desa-desa di provinsi daerah Yogyakarta menentukan tipologi desa-desa
berdasarkan kharakteristik kekotaanya. Ada lima indikator yang digunakan yakni;
kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, lahan terbangun, penduduk non
pertanian, dan fasilitas sosial ekonomi. Indikator itu tersebut diukur dengan
memberi skor, dan dari skor yang diperoleh kemudian ditentukan indeks
kekotaannya. Berdasarkan indek kekotaannya, tipe kekotaan desa yaitu ;
a) Desa mula, indek kekotaan sangat
rendah
b) Desa, indeks kekotaan rendah
c) Calon kota, indek kekotaannya sedang
d) Kota, indek kekotaan tinggi
e) Kota lanjut, indeks kekotaannya
tinggi
Indikator yang dipakai untuk untuk
menentukan tipe-tipe desa tersebut adalah potensi alam, sumber daya manusia,
letak desa, mata pencarian, produksi, adat, kelembangaan, pendidikan , gotong
royong, prasarana dan administrasi.
Tipologi
Desa di Indonesia
Dengan adanya
keragaman adat budaya masyarakat Indonesia menyebakan tipologi desa yang ada berbeda
pula. Selan itu juga tipologi desa di Indonesia dipengaruhi oleh warisan adat
dan kebudayaannya. Pada daerah-daerah yang memegang adat, tipologi desa selain
oleh mata pencaharian juga dipengaruhi oleh sistem kepemimpinannya. Akan tetapi
secara umum desa di Indonesia adalah desa pertanian, perkebunan, nelayan dan
pertenakan dan sedikit desa sungai (Budi Harsono,1997 dalam Yayuk dan
Mangku,2003 ).
Pengelompokan
desa dapat dilakukan dengan jalan membagi dengan perhitungan secara kualitatif
maupun kuantitatif atas segala asfek kehidupan manusia baik secara fisik yang
relatife tetap dan non fisik yang lelatif berkembang (Yayuk dan Mangku,2003 ).
Asfek fisik
terdiri dari daya dukung alam yakni;
potensi gografis, iklim, kesuran tanah, potensi hutan, air, pertambangan,
perikanan dan lain-lain. Asfek non fisik terdiri dari matapencarian yakni;
jumlah, ragam, jenis usaha, tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat dan
adat istiadat yang dianut waga masyarakat tersebut (Yayuk dan Mangku, 2003).
Dalam
konteks pembangunan desa, pemerintah membedakan
Pengelompokan desa dapat dibagi menjadi 3 yaitu; Desa swadaya, desa
swakarya, dan swasembada (Sriartha, 2004; 13).
1). Desa Swadaya dengan Ciri-ciri
:
a) Sebagian
besar kehidupan penduduknya masih tergantung pada keadaan alam.
b) Hasilnya
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
c) Administrasi
desa belum dilaksanakan dengan baik
d) Lembaga-lembaga
desa belum berfungsi dengan baik
e) Tingkat
pendidikan dan produktivitas penduduknya masih rendah
f) Belum mampu dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan sendiri (Anonim,2008)
2).
Desa Swakarya (Transisi) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Sudah
mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
b) Lembaga
sosial desa dan pemerintahan sudah berfungsi.
c) Administrasi
desa sudah berjalan.
d) Adat-istiadat
mulai longgar.
e) Mata
pencaharian mulai bearagam.
f) Sudah
ada hubungan dengan daerah sekitarnya (Anonim,2008).
3).
Desa Swasembada memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Sarana
dan prasarana desa lengkap.
b) Pengelolaan
administrasi telah dilaksanakan dengan baik
c) Pola
pikir masyarakat lebih rasional
d) Mata
pencaharian penduduk sebagaian besar di bidang jasa dan perdagangan (Anonim,2008).
Dari beberapa
indicator diatas klasifikasi atau penggolongan desa berdasarkan intruksi mentri
dalam negeri No:11 tahun 1972 dalam Yayuk dan Mangku (2003), penggolongan desa
dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu desa swadaya, swakarya, dan swasembada.
Desa
swadaya
Desa swadaya
merupakan desa terbelakang dengan buaya yang masih tradisional sangat terikat
pada adat istiadat atau sering disebut sebagai desa tradisional. desa ini
mempunyai tingkat kesejahteraan rendah, dan sangat tergantung dengan alam. Desa
swadaya ini masyarakatnya masih tergantung ada sektor ekonomi primer atau
budidaya serta kurang dalam mengoptimalkan potensi alam. Menurut Yayuk dan
Mangku (2003) Ciri-ciri desa swadaya adalah sebagai berikut;
a) Lebih
dari 50% penduduknya bermata pencarian di sektor primer (berburu, menangkap
ikan, dan bercocok tanam secara tradisional)
b) Produksi
desa sangat rendah dibawah 50 juta rupiah/tahun.
c) Adat
istiadat masih mengikat kuat.
d) Pendidikan
dan keterampilan rendah, di mana masyarakat desa yang lulus SD di bawah 30 %.
e) Prasarana
masih sangat kurang
f) Kelembagaan
formal maupun informal kurang berfungsi dengan baik.
g) Swadaya
masyarakat sangat rendah sehingga kerapkali pembangunan desa selalu menunggu
dari atas.
Desa
swakarya
Desa swakarya
memiliki perkembangan yang yang lebih maju dari desa swadaya. Desa ini telah
memiliki landasan berkembang lebih baik serta pendudukya lebih kosmopolit
selain itu ada peralihan mata pencarian dari sektor primer ke sektor lain. Menurut
Yayuk dan Mangku (2003) ciri-ciri desa swakarsa adalah sebagai berikut;
a) Mata
pencarian penduduk mulai berkembang dari sektor primer ke industri.
b) Produksi
desa masih tingkat sedang , yaitu antara 50-100 juta rupiah per tahun.
c) Adat
istiadat alam keadaan transisi, di mana dominasi adat mulai luntur.
d) Kelembagaan
formal dan informal mulai berkembang.
e) Keterampilan
masyarakat dan pendidikannya berada pada tingkat sedang yaitu 30-60% telah
lulus SD bahkan ada beberapa yang lulus sekolah lanjutan.
f) Fasilitas
maupun prasarana mulai ada meski tidak lengkap, paling tidak ada 4 – 6 sarana
umum yang tersedia di masyarakat.
g) Swadaya
dan gotong royong dalam pembangunan desa mulai nampak walaupun tidak
sepenuhnya.
Desa
swasembada
Desa swasembada
merupakan desa yang memiliki kemandiriaan lebih dalam segala hal terkait dengan
aspek sosial maupun ekonominya. Desa ini mulai berkembang dan maju dengan
petani yang tidak terikat pada adat istiadat lagi. Selain itu sarana dan prasarana
telah lengkap meski tidak selengkap kota serta perokonomiannya telah mengarah
kepada industri dan jasa. Perdagangan dan sektor sekunder telah berkembang.
Menurut Yayuk dan Mangku (2003) bahwa secara umum ciri-ciri desa swakarsa
adalah sebagai berikut;
a) Mata
pencaharin penduduk sebagian besar ada di sektor jasa dan perdagangan atau
penduduknya lebih dari 55% bekerja di sektor tersier.
b) Produksi
lebih tinggi, pengasilan seluruh usaha yang ada di desa diatas 100 juta per
tahun.
c) Adat
istiadat tidak lagi mengikat walaupun sebagian dari masyakatnya masih
menggunakannya.
d) Kelembagaan
telah berjalan sesuai dengan fungsinya dan telah ada sekitar 7-9 lembaga.
e) Pendidikan
dan keterampilan telah tinggi 60% telah lulus SD, sekolah lanjutan bahkan telah
lulus perguruan tinggi.
f) Prasarana
dan sarana baik.
g) Penduduk
sudah punya inisiatif sendiri melalui swadaya dan gotong royong dalam membangun
desa.
Untuk mengetahui
apakah desa tersebut termasuk desa swadaya, swakarya, dan swasembada tentu
perlu indikator dan pengukuran secara tepat. Indikator yang digunakan adalah
indikator fisik relatif dan nonfisik yang selalu bekembang. Indikator tetap
terdiri dari kepadatan penduduk (D), keadaan alam (N), letak desa dengan pusat
kemajuan (U). indikator berkembang adalah mata pencaharian (E), produksi (Y),
adat istiadat (A), kelembagaan (L), pendidikan keterampilan (Pd), swadaya (Gr),
serta sarana dan prasarana (P). Seluruh indikator itu kemudian kita jumlahkan (E+Y+A+L+Pd+Gr+P), Apabila nilai yang
diperoleh adalah 7-11 maka termasuk desa swadaya, 12-16 adalah desa swakarya,
dan 17-21 adalah sektor desa swasembada (Yayuk dan Mangku, :
45).
Dalam
skematis model penilaian dapat dilihat dalam tabel berikut:
Penilaian
indikator penentu dalam tipologi desa
NO
|
INDIKATOR
|
KEADAAN
|
SKOR
|
A
|
Indikator relatif tetap
|
||
1
|
Kepadatan
penduduk
|
-kurang 200
orang/km2
|
D1
|
|
-200-300
orang/km2
|
D2
|
|
|
-lebih dari
300 orang/km2
|
D3
|
|
2
|
Keadan alam
|
-kurang
|
N1
|
|
|
-sedang
|
N2
|
|
|
-tinggi
|
N3
|
3
|
Orbitasi(kota
yang paling mempengaruhi)
|
-kota provinsi
|
U1
|
-kota
kabupaten
|
UII
|
||
-kota
kecamatan
|
UIII
|
||
-terisorir
|
UIV
|
||
B
|
Indikator Berkembang
|
||
1
|
Mata pencaharian
|
-55% sektor primer
|
E1
|
-55% sektor sekunder
|
E2
|
||
-55% sektor tersier
|
E3
|
||
2
|
Prodiksi (out
put desa)
|
-kurang dari 50 juta
|
Y1
|
-Rp.50 - Rp100juta
|
Y2
|
||
--lebih dari 100 juta
|
Y3
|
||
3
|
Adat istiadat
|
|
|
-mengikat
|
-7-9 adat dilakukan
|
A1
|
|
-transisi
|
-4-6 adat dilakukan
|
A2
|
|
-tidak
mengikat
|
-1-3 adat dilakukan
|
A3
|
|
4
|
Kelembagaan
|
-1-3 lembaga yang ada
|
L1
|
-4-6 lembaga yang ada
|
L2
|
||
-7-9 lembaga yang ada
|
L3
|
||
5
|
Pendidikan dan
keterampilan
|
-kurang dari 30% lulus SD
|
Pd1
|
-30-60% lulus SD
|
Pd2
|
||
-lebih dari 60% lulus SD
|
Pd3
|
||
6
|
Swadaya dan
gotong royong
|
-laten
|
Gr1
|
-transisi
|
Gr2
|
||
-manifes
|
Gr3
|
||
7
|
Sarana dan
prasarana
|
-kurang (nilai 25-55)
|
P1
|
-sedang (nilai 60-90)
|
P2
|
||
-cukup (nilai 95-125)
|
P3
|
||
Sumber ; intruksi mentri daam negeri
No;11tahun 1972
|
Stuktur Keruangan Desa
Menurut Bintarto dalam (Anonim),
desa merupakan hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan
lingkungannya. Perpaduan tersebut tertuang dalam kenampakannya di permukaan
bumi yang tidak lain bersumber dari komponen-komponen fisiogafis, sosial,
ekonomi, politik, dan budaya yang saling berinteraksi. Kenampakan fisik dari
sebuah desa ditandai dengan permukiman yang tidak begitu padat, sarana
transportasi yang langka, penggunaan tanah yang lebih didominasi oleh lahan
pertanian dan perkebunan. Kenampakan sosial-budaya dicirikan dengan ikatan tali
kekeluargaan yang begitu erat di mana paguyuban (gemeinchaft) dengan
perilaku gotong royong masyarakat masih begitu dominan.
Karakteristik kawasan permukiman penduduk di pedesaan ditandai
terutama oleh ketidakteraturan dalam bentuk fisik rumah. Pola permukiman sebuah
perkampungan penduduk di pedesaan dapat diidentifikasi dari situs yang berada
di dekatnya, misalnya sungai. Selain itu, pola permukiman juga bisa
mengindikasikan pola mata pencarian penduduknya
1)
Pola Desa
Berdasarkan faktor lingkungan fisik
dan faktor lingkungan buatan manusia, bentuk dan pola desa pada dasarnnya dibedakan
menjadi dua, yaiitu bentuk/pola desa
memanjang/linier dan bentuk/pola desa melingkar/radial. Bentuk pola desa
memanjang biasanya terdapat didaerah sekitar pantai, sepanjang pinnggir jalan
raya, sepanjang pinggir sungai. Bentuk dan
pola melingkar umumnya terdapat dilereng mengelilingi gunung. Selain itu
bentuk pola melingkkar juga terdapat diddaerah dataran rendah yang dipusatkan
Fasilitas pelayanan penting (Sriartha,2004;10).
1) Pola penggunaan tanah
Menurut Jayadinata (1986) dalam Sriartha (2004) penggunaan tanah desa dibagi 2 yakni;
v Kehidupan sosial; dapat berupa
tempat ibadah, perumahan, bale banjar
dll.
v Kehidupan ekonomi; dapat berupa
tempat transaksi (pasar), di Bali dinamakan
peken
2) Pola persebaran permukiman
Secara umum pola permukiman di wilayah
pedesaan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pola memusat dan pola terpencar.
Pemukiman memusat merupakan pola pemukiman yang umum terdapat di Indonesia.
Pola permukiman desa dapat berupa pola permukiman tersebar secara memusat ataupun tersebar
secara linier. Tergantung pada kondisi alamnya baik itu dari segi pertanian,
maupun fisiografis desa yang mencakup kemiringan lereng, kondisi lahan juga.
Permukiman linear di desa dipengaruhi oleh adanya akses berupa jalan, sehinngga
permukiman penduduk berada di dekat jalan saja. Sedangkan permukiman memusat
dipengaruhi oleh lahan pertanian, penduduk di desa biasanya membuat rumah di
lahan pertanian miliknya sendiri.
3)
Penggunaan
tanah untuk kegiatan ekonomi
Penggunaan tanah untuk daerah
pedesaan adalah dalam bidang pertanian, perikanan, pertenakan, kehutanan, dan
sebagai industri, terutama industri kecil. Pertanian dapat dibedakan menjadi
pertanian tradisional, transisional, pertanian maju. Pertanian tradisional
berciri teknologi sederhana, modal rendah, tenaga kerja berupa manusia dan
hewan.
Dalam
konteks pembangunan tanah untuk kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, seorang
sarjana dan penguasaan pertanian berkebangsaan Jerman bernama Von Thunen (Daldjoeni,1992
dalam Sriartha, 2004; 19), mengemukaan suatu teori lokasi tentang pola
pertanian yang disebut dengan teori lingkaran konsentris. Menurutnya pola
pertanian disuatu wilayah seperti lingkaran konsentris.
a)
Didaerah
tersebut hanya ada sebuah kota dengan wilayah pertanian sebagai daerah
belakangnya. Kota merupakan surplus hasil pertanian di daeah belakangnya.
b)
Hiderland
memiliki keadaan lingkungan alam yang homogen dan baik untuk pertanian maupun
pertenakan.
c)
Para
petani di hinterland memiliki keinginan mendapatkan keuntungan yang maksimal
dan mampu menyesuaikan tipe pertanian dengan peminat pasar.
d)
Biaya
angkut berbanding lurus dengan jarak perjalanan ke pasar, dan semua petani
menggunakan pengangkutan untuk menjual hasil pertaniannya ke kota itu segera
setelah panen.
Referensi:
Anonim. 2008. Pola Keruangan Desa dan Kota. http;//geografi
161.blogspot.com/2008/10/desa-dan-kota.html’diposkan Kamis, 30 Oktober 2008.
Diakses pada tanggal 26 Oktober 2010.
Anonim, tt. Stuktur Keruangan Desa-Kota.
http;//gurumuda.com/bse/stuktur-keruangan-desa-kota.com. Diakses pada tanggal
26 Oktober 2010.
Anonim.
2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Desa.
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Anonim. 2010. http://slametteguh.blogspot.com/2009/02/pola-permukiman.html.
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Anonim. 2010. http://www.jevuska.com/topic/pengertian+fenomena+sosial.html.
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Anonim. 2010. http://anggigeo.wordpress.com/. .
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Anonim.
2010. http://alkitab.sabda.org/lexicon.php?word=kedesaan.
Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Sriartha, Putu. 2004. Geografi Perdesaan dan Perkotaan. Tidak
diterbitkan: Singaraja.
Purnamawati, Indah. 2009. Ciri-Ciri
Desa. Diakses di http://indahpurnamawati.blogdetik.com/category/ciri-ciri-desa
diposkan tanggal 30 oktober 2009 diakses 14 oktober 2010
Yayuk dan Mangku. 2003. Sosiologi Pedesaan. Lapera Pustaka
Utama: Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar