TINJAUAN TENTANG GEOGRAFI PERDESAAN


Pengertian Geografi perdesaan dapat dipandang  secara etimologi sebagai berikut yakni; Geografi dan Perdesaan.
Tinjauan Tentang Pengertian Geografi
Sebutan geografi ini secara Historis telah mulai dikembangkan oleh para pakar yunani kuno, pertama kali dikembangkan oleh Erastotenes(276-196 SM) dengan hasil karyanya yang berjudul Geografika(Surhayono.1994;1). Geografi berasal dari bahasa Yunani: geo berarti bumi dan grafhein berarti tulisan. Jadi secara harfiah, geografi berarti tulisan tentang bumi. Oleh karena itu, geografi sering juga disebut ilmu bumi. Akan tetapi, yang dipelajari dalam geografi bukan hanya mengenai permukaan bumi saja, melainkan juga berbagai hal yang ada di permukaan bumi, di luar bumi, bahakan benda-benda di ruang angkasa pun turut menjadi objek kajian geografi.
Alexsander  dan Gibson dalam Surhayono,1994;12. Mengemukakan bahwa geografi merupakan disiplin ilmu yang menganalisis variasi keruangan dalam artian kawasan-kawasan (region)  dan hubungan antara variable-variable keruangan.

Menurut armin K. Lobeck dalamSurhayono.1994;13. Mengatakan geografi adalah “the study of relationships exsiting between life physical environment”, yakni sebagai ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan yang ada antara kehidupan dan lingkungan fisiknya
Menurut SEMLOK tahun 1988 dalam Surhayono.1994;15. Dikatakan geografi merupakan ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan dan kewilayahan dalam kontek keruangan
Menurut penulis sendiri geografi  pada dasarnya adalah  ilmu yang mempelajari bumi meliputi fenomena-fenomena yang ada dibumi yaitu fenomena geosfer, meliputi fenomena fisik dan sosial yang saling berinteraksi dalam sutu region,  dipandang dengan menggunakan  pendekatan kelingkungan dan kewilayahan dengan kontek keruangan, meliputi; time bases analisis, space bases analisysis dan time space based analisis.
Dari pengertian terkandung Ciri khas yang membedakan ilmu geografi dengan ilmu lainnya yakni; Geografi dalam mempelajarinya selalu menekankan pada obyek  pengkajian yakni unit permukaan bumi(geosfer) dalam suatu region meliputi unit fisik dan sosial yang saling berinteraksi, dipandang dengan sudut pandang kewilayahan, dan kelingkungan dan kontek keruangan.
Tinjauaan Tentang Pengertian  Perdesaan
Untuk mengetahui pengertian mengenai perdesaan kita melangkah dulu dari pengertian desa itu sendiri. Beberapa pengertian Desa  menurut para ahli;
Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo istilah desa dapat diartikan ke dalam tiga istilah yaitu desa, dusun, dan desi yang semuanya berasal dari suku kata swa desi. Istilah ini sama maknanya dengan negara, negeri, nagari yang berasal dari kata nagaram. Istilah ini berasal dari kata sanskrit yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran(Hartono, 2009).

Pengertian desa  hanya berlaku secara representatif (mewakili) bagi semua desa yang ada di dunia. Hal ini disebabkan karena setiap desa menunjukkan karakteristiknya masing-masing atau ciri khas yang dimiliki oleh desa tersebut.
Dalam Bahasa Inggris, desa  adalah village. Menurut Paul H. Lubis dalam rahardjo(1999) dalam Sriartha(2004) mendifinisikan desa dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu:
1.         Analisa statistik, desa adalah lingkungan yang berpenduduk kurang dari 2500 orang.
2.         Analisa sosial psikologik, desa merupakan lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan akrab dan serba informal.
3.         Analisa ekonomik, desa adalah lingkungan yang penduduknya kepada pertanian.
Menurut Bintarto dalam Sriartha (2004) mengemukakan bahwa desa merupakan lingkungan tempat tinggal penduduk (bukan pusat perdagangan atau bisnis) yang mata pencahariannya utamanya di bidang pertanian.
Dilihat dari perspektif hukum (adat) dan administratif, menurut pendapat Sutardjo Kartohadikoesumo dalam Bintarto (1984) dalam Sriartha (2004), desa merupakan kesatuan hokum dimana bertempat tinggal masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Pengertian itu sama dalam Inpres Nomor 5 Tahun 1976, yaitu desa merupakan masyarakat hukum yang setingkat dengan nama asli lainnya dalam pengertian teritorial administratif langsung di bawah kecamatan.
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1976 dijelaskan bahwa desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik  Indonesia.
Dilihat dari perspektif geografi, desa merupakan wilayah yang terbentuk melalui unsur-unsur geografi. unsur tersebut meliputi bentang alam fisik, bentang buatan manusia  penduduk dan unsur tata kehidupan. Bentang alam fisik seperti tanah, air, iklim, topografi termasuk  lokasi dan tumbuhan. Bentang buatan manusia seperti jalan, gedung, jembatan dan sebagainya. Dari segi penduduk desa, menyangkut jumlah, komposisi, persebaran, dan kualitasnya.  Terakhir yaitu dari segi unsur tata kehidupan, yaitu menyangkut sistem niali budaya dan kelembagaan masyarakat.
Kharakteristik Suatu Desa
Karakteristik atau ciri-ciri desa dapat dianalisa dari usul-usul, pengertian atau unsur-unsur desa itu sendiri. Unsur-unsur desa terdiri dari bentang alam, unsur bentang buatan, penduduk, dan tatanan kehidupan. Ciri-ciri desa menurut sriartha,2004;5-6.  Dapat diungkap 4 usur desa, meliputi;
a)         Desa dan masyarakat sangat erat kaitannya dengan alam,
b)         Bentang buatan di desa yang mencangkup prasarana dan sarana sosial ekonomi(seperti jalan raya, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, pasar). Dan pemukiman penduduk, menggambarkan keadaan yang sederhana dan tidak padat.
c)         Penduduk desa menunjukan ciri-ciri;
1.         kepadatan penduduk berada pada kategori tidak padat hingga cukup padat.
2.         aktifitas ekonominya bersifat primer, yaitu menghasilkan bahan/produksi pertanian
3.   interaksi sosial bersifat akrab, kekeluargaan. Bintarto(1984) dan Daldjoeni (1998) dalam Sriartha (2004). Menyatakan hubungan antar pribadi masyarakat desa lebih bersifat peguyuban dan gotong royong
4.         stratifikasi sosial, diferensiasi sosial masyarakat desa bersifat relative homogen.
d)        Tatanan kehidupan masyarakat desa lebih mengutamakan sistem nilai dan adat iistiadat setempat untuk mengatur tata kehidupannya
1. Menurut Lowrrey Nelson dalam Indah (2009), ada 16 ciri  khas desa:
a)      Mata pencaharian : agraris homogen
b)      Ruang kerja : terbuka, terletak disawah, ladang dan sebagainya
c)      Musim/ cuaca : sangat penting untuk menentukan masa panen
d)     keahlian/ ketrampilan : umum dan merata untuk setiap orang
e)      kesaatuan kerja keluarga : sangat umum
f)       jarak rumah dengan tempat kerja : berdekatan
g)      kepadatan penduduk : rendah atau  sedikit
h)      besarnya kelompok : sedikit atau kecil
i)        kontak sosial : sedikit
j)        rumah : tradisional
k)      lembaga / institusi : kecil / sederhana
l)        kontrol sosial : adat  istiadat, kebiasaan
m)    mobilitas penduduk : rendah
n)      status sosial : stabil
2. Menurut Soerjono Soekanto dalam Indah (2009) ciri khas desa:
a)      Kehidupan masyarakat sangat erat dengan alam
b)      Kehidupan petani sangat bergantung pada musim
c)      Desa merupakan kesatuan social dan kesatuan kerja
d)     Struktur perekonomian bersifat agraris
e)      Hubungan antar anggota masyarakat desa berdasar ikatan kekeluargaan
f)        Perkembangan social relatif lambat
g)       Kontrol sosial ditentukan oleh moral dan hukum informal
h)      Norma agama dan adat masih kuat

Kata perdesaan diambil dari bahasa Inggris yaitu rural yang artinya seperti desa atau seperti di desa kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga secara umum dikenal dalam istilah Indonesia adalah perdesaan. Hal ini dapat dilihat dalam realitanya suatu daerah yang lokasinya di kota tetapi kehidupan masyarakat dan lingkunganya seperti di desa, maka daerah tersebut disebut dengan rural bukan kota. 
Kawasan perdesaan (rural) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama berupa pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kawasan perdesaan (rural) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama berupa pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Perdesaan merupakan daerah (kawasan) desa. Ada istilah lain yang sering kita dengar yaitu pedesaan dan kedesaan. Pedesaan merupakan daerah permukiman penduduk yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, dan air sebagainya, yang menjadi syarat penting bagi terwujudnya pola kehidupan agraris penduduk di tempat itu. Sedangkan, kedesaan merupakan  sesuatu yang berhubungan dengan sifat atau keadaan desa; perihal daerah (http://alkitab.sabda.org/lexicon.php?word=kedesaan, 2010).

1.      Ditinjau dari penduduknya, desa merupakan lingkungan yang berpenduduk kurang lebih 2500 orang.
2.      Ditinjau dari ekonomi, desa adalah lingkungan yang penduduknya bergantung kepada pertanian. Menurut Bintarto dalam Sriartha (2004) mengemukakan bahwa desa merupakan lingkungan tempat tinggal penduduk  yang mata pencahariannya utamanya di bidang pertanian bukan sebagai pusat perdagangan atau bisnis.
3.      Ditinjau dari perspektif hukum, menurut pendapat Sutardjo Kartohadikoesumo dalam Bintarto (1984) dalam Sriartha (2004), desa merupakan kesatuan hukum dimana bertempat tinggal masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Pengertian itu sama dalam Inpres Nomor 5 Tahun 1976, yaitu desa merupakan masyarakat hukum yang setingkat dengan nama asli lainnya dalam pengertian teritorial administratif langsung di bawah kecamatan. Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1976 dijelaskan bahwa desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik  Indonesia.
4.      Ditinjau dari perspektif geografi, desa merupakan wilayah yang terbentuk melalui unsur-unsur geografi. Unsur tersebut meliputi bentang alam fisik, bentang buatan manusia  penduduk dan unsur tata kehidupan. Bentang alam fisik seperti tanah, air, iklim, topografi termasuk  lokasi dan tumbuhan. Bentang buatan manusia seperti jalan, gedung, jembatan dan sebagainya. Dari segi penduduk desa, menyangkut jumlah, komposisi, persebaran, dan kualitasnya.  Terakhir yaitu dari segi unsur tata kehidupan, yaitu menyangkut sistem niali budaya dan kelembagaan masyarakat.
Adapun ciri-ciri perdesaan ditinjau dari:
  1. Ciri Fisik
         Wilayah yang agraris, artinya sebagian besar penduduknya bekerja di sector pertanian.
  1. Ciri Sosial
         Masyarakat yang religius, artinya masyarakat yang taat pada agama yang dianutnya. Melakukan ibadah seperti masyarakat Hindu Bali pada umumnya di perdesaan melaksanakan odalan di pura.
         Gotong royong yang kuat, masyarakat memegang teguh sistem gotong royong, seperti halnya dalam pembuatan jalan setapak menuju lahan-lahan pertanian.
         Hubungan kekerabatan kuat
         Hidup tergantung pada sektor pertanian
  1. Ciri Geografis
         Pemukiman yang tidak terlalu padat
         Sarana dan prasarana transportasi yang langka, seperti zaman dahulu memanfaatkan hewan (kuda, gajah, sapi, kerbau dan sebagainya). Namun sekarang sudah beralih ke alat yang lebih modern seperti mobil angkutan dan sepeda motor.
         Pola  penggunaan lahan yang tidak padat
           
.
Fenomena di Perdesaan
Fenomena (masalah atau gejala) adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat, atau alami, atau rasakan. Suatu kejadian adalah suatu fenomena. Suatu benda merupakan suatu  fenomena, karena merupakan sesuatu yang dapat kita lihat. Adanya suatu benda juga menciptakan keadaan ataupun perasaan, yang tercipta karena keberadaannya (Anonim, 2010). Ada beberapa fenomena di perdesaan antara lain:
a)   Fenomena social
Kehidupan social merupakan ciri khas dari penduduk yang berada di perdesaan, adanya interaksi antar berbagai penduduk menjadi sangat penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari di perdesaan. Adapun fenomena yang nampak di perdesaan seperti gotong royong dalam pembuatan jalan atau saat ada upacara keagaman seperti pembuatan penjor di pura, ngayah di pura, dan sebagainya.
Kehidupan sosial masyarakat desa tradisional yang hidup di daerah-daerah pertanian pedalaman hidup dalam komunitas-komunitas yang cenderung bersikap “tertutup”, serta dengan semangat kelompok yang kuat, karena mereka menganggap bahwa eksistensi (keberadaan) individu terletak di dalam kehidupan berkelompok atau bermasyarakat. Oleh sebab itu kehidupan individu perlu diatur dalam bentuk organisasi (Anonim, 2010).

b)  Fenomena pertanian
Pertanian di perdesaan dalam bentuk perkebunan, perladangan dan perhutanan. Masyarakat perdesaan sebagaian besar dihidupi oleh hasil pertanian. Adapun komoditi (hasil pertanian) berupa tanamam kopi, cengkeh, pala, merica, dan sebagainya, Sayur-sayuran dan buah-buahan, dan kayu yang diperoleh dari kebun penduduk.

c)   Fenomena transportasi
Aspek aksesibilitas (dalam hal transportasi) di desa merupakan faktor penting untuk menunjang aktivitas ekonomi, pada faktanya masih banyak desa memiliki aksesibilitas yang buruk yang menjadi penghambat dalam penditribusian hasil pertanian. Padahal aksesibilitas tersebut berfungsi sebagai jalur penghubung terjadinya aliran barang dan jasa (aktivitas ekonomi). Melalui peningkatan aksesibilitas di desa seperti pembangunan jalan dan jembatan, pemberdayaan potensi sumber daya yang terdapat di desa dapat dikembangkan secara optimal. Adanya kemudahan akses tersebut juga bisa menjadi faktor penarik bagi pihak pemerintah dan swasta untuk bermitra dan mengembangkan aspek unggulan desa yang bersangkutan (http://anggigeo.wordpress.com/, 2010).
Sarana transportasi yang dapat kita lihat di perdesaan yang akses jalannya buruk, biasanya memanfaatkan hewan seperti gajah, kuda, dan sebagainya. Tergantung dari topografi suatu wilayah perdesaan. Namun di era sekarang karena semakin meluasnya pembuatan jalan ke daerah terpencil atau di perdesaan yang terpencil, maka sarana angkutan berupa mobil angkut, truk, sepeda motor dan sebagainya  sudah bisa dimanfaatkan dengan baik.

d)  Fenomena permukiman
Terbentuknya pola permukimam dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, keadaan sosial ekonomi, serta keadaan budaya penduduk perdesaan.
Daerah-daerah yang memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut tempat kediaman penduduk dalam satu kelompok. Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran rendah menjadi sasaran penduduk untuk bertempat tinggal. sebuah sumber air bisa  menjadi tempat pemusatan penduduk.
Daerah-daerah banjir merupakan pemisah antara permukiman perdesa­an satu dengan lainnya. Daerah-daerah dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk desa tersebar. Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap tempat, sehingga perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat yang ada.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tipe permukiman memusat antara lain permukaan lahan yang datar, lahan yang subur, curah hujan yang relatif kurang, kebutuhan akan kerjasama, ikatan sosial-ekonomi, agama atau kepercayaan, tipe pertanian, lokasi industri dan mineral. Disamping itu dinyatakan, bahwa pola permukiman dipengaruhi oleh fisiografis (keadaan fisik) wilayah, seperti relief, sumber air, jalur drainase, kondisi lahan (Wuryanto Abdullah dan Su Rito Hardoyo, 1981). Pendapat dan pernyataan di atas menunjukkan adanya tiga kelompok penting dalam pola permukiman, yakni pola mengelompok, pola acak dan pola tersebar merata Selain itu, tampak pula bahwa relief, kesuburan lahan dan sumber air, merupakan komponen lingkungan alam yang dominan dalam mempengaruhi pola permukiman, di samping kondisi sosial-ekonomi dan kebudayaan, seperti tata guna lahan, tipe pertanian, penyakapan lahan, prasarana transportasi dan komunikasi, kepadatan penduduk, lokasi mineral dan industri, keamanan, politik, sistem pembagian waris dan agama atau ideology (http://slametteguh.blogspot.com/2009/02/pola-permukiman.html).
 Ditinjau dari letak ketinggian wilayah, tampak faktor ini mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas lahan. Dengan pernyataan lain, semakin meningkatnya letak ketinggian tempat,  menyebabkan semakin berkurangnya lahan-lahan datar. Sandy (1977) menyatakan bahwa di sekitar ketinggian sama dengan atau lebih besar dari 100 meter, biasanya topografi lebih kasar daripada di bawahnya. Dengan demikian berarti, bahwa semakin meningkatnya letak ketinggian tempat di suatu wilayah, maka semakin meningkat pula kekasaran topografinya, keadaan permukaan air sumur juga semakin dalam, sehingga kemungkinan untuk terjadinya pengelompokan permukiman secara teratur maupun penyebaran secara teratur sangat kecil. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat pada suatu wilayah, pola permukiman semakin tersebar terjadi secara tidak teratur.
Sejalan dengan pernyataan Sandy (1977), bahwa kemampuan untuk menempuh jarak di perdesaan, ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk berjalan kaki. Dengan demikian, adanya perluasan lahan pertanian dan peningkatan efektivitas kerja, yang disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dapat mempengaruhi terhadap penyebaran pola permukiman. Terdapatnya permukiman dalam artian sempit di suatu wilayah, tentu disebabkan oleh adanya kemungkinan untuk hidup bagi masyarakat kampung yang bersangkutan, sesuai dengan keahlian ataupun keterampilan mereka. Makin besarnya kemungkinan untuk hidup yang diberikan suatu wilayah, semakin besar pula kemungkinan jumlah manusia yang tinggal di wilayah tersebut, atau semakin besar pula terjadinya pemusatan penduduk wilayah tersebut.
Apabila ditinjau dari perkembangan bentuk-bentuk penggunaan lahan untuk usaha pertanian rakyat di pede­saan, sebagaimana dikemukakan Sandy (1977), bahwa perkembangan tertinggi dari usaha pertanian kecil di Indonesia adalah persawahan dengan pengairan teratur, apabila memungkinkan penduduk akan membuat sawah pada medan dengan lereng yang bagaimanapun, baik rawa, lereng gunung dan apalagi daerah datar. Dengan demikian, daerah-daerah usaha pertanian lahan sawah merupakan daerah pusaatan penduduk yang terbesar. Adanya perbedaan bentuk penggunaan lahan dalam usaha pertanian, dengan sendirinya memerlukan tingkat pengolahan serta tingkat kebutuhan tenaga, kerja yang berbeda-beda pula Dalam hal ini ditunjukkan bahwa lahan merupakan. Dalam dan jenis penggunaan yang paling intensip. Artinya pemakaian tenaga kerja dalam bentuk usaha lahan sawah akan lebih besar dari usaha pertanian lahan kering, seperti tegalan, kebun campuran maupun usaha perkebunan kecil. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja ini, dilakukan dengan sistem pertukaran jasa. (barter tenaga sesama mereka). Sifat kegotongroyongan pada usaha pertanian lahan sawah, menuntut suatu kehidupan sosial yang saling berdampingan antara sesama keluarga petani. Hal ini, menuntut pula terjadinya pengelompokan permukiman pedesaan di sekitar lahan sawah, dan sebaliknya terjadi pola-pola permukiman yang menyebar pada penggunaan lahan pertanian lahan kering.
Berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi pola permukiman di perdesaan, antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air sumur, curah hujan, kepadatan penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dan persentase luas lahan sawah dari seluruh luas lahan pertanian. (http://slametteguh.blogspot.com/2009/02/pola-permukiman.html).

Pendekatan dalam Mengkaji Perdesaan
Ditinjau dari pendekatan keruangan, sebelum membahas lebih lanjut perlu kita ketahui pengertian pendekatan keruangan, yaitu suatu analisis yang perlu memperhatikan  penyebaran, penggunaan ruang dan perencanaan ruang. Dalam analisis keruangan mengkaji ruang di suatu tempat atau wilayah yang terdiri dari data titik (point), data bidang (areal) dan data garis (line) meliputi jalan dan sungai. Contohnya persebaran perkebunan kopi, cengkeh, kelapa dan sebagainya.
  1. ASAL USUL TERBENTUKNYA DESA
Desa sama artinya dengan udik. Menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa, sedangkan di Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut Kepala Kampung atau Petinggi. Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari, dan di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat (http://id.wikipedia.org/wiki/Desa, 2010).
Munculnya pertanian atau bercocok tanam secara menetap merupakan revolusi kebudayaan manusia. Proses yang diperlukan untuk membentuk sebuah desa memerlukan proses perubahan dalam waktu yang sangat panjang. Dalam proses perubahan itu, terjadi beberapa kali loncatan gelombang perubahan yang disebut revolusi kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1986) dalam Sriartha (2004) sejak 80.000 tahun yang lalu ketika manusia menampakkan bentuknya sebagai Homo Sapiens telah terjadi tiga kali revolusi kebudayaan manusia, yaitu revolusi pertanian yang terjadi pada 10.000 tahun yang lalu, revolusi perkotaan yang terjadi pada 4000 tahun yang lalu, dan revolusi industri yang terjadi pada pertengahan abad ke-17.
Sebelum manusia menemukan kepandaiannya di bidang bercocok tanam secara menetap, cara hidup mereka masih dalam taraf food gathering economics, seperti kegiatan berburu, menangkap ikan dan meramu. Mereka hidup mengembara dalam kelompok-kelompok yang tidak permanen. Mereka belum mampu mengembangkan organisasi sebagai suatu tatanan masyarakat yang teratur. Dengan ditemukannya system bercocok tanam secara menetap , memaksa manusia untuk tinggal secara menetap guna menjaga tanaman dan hasil panennya. Dalam pola tinggal menetap mereka saling berinteraksi secara kontinyu dan teratur yang selanjutnya terakumulasi menjadi suatu tatanan hidup bersama yang melahirkan desa. Dengan demikian revolusi kebudayaan dalam bentuk penemuan bercocok tanam menetap merupakan tonggak lahirnya sebuah komunitas desa.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti dimana lokasi pertama kali ditemukannya budaya bercocok tanam secara menetap. Dilihat dari ukuran bumi yang begitu luas dan bentuk kenampakan serta lingkungan geografisnya yang tidak sama di berbagai tempat, maka dapat diduga  manusia zaman dahulu tidak hanya hidup di satu tempat saja , melainkan mereka hidup secara terpencar atau terpisah satu sama lainnya. Karena itulah, muncul sitem bercocok tanam secara menetap dan desa terjadi di beberapa tempat di permukaan di bumi yang tidak saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Hasil-hasil studi dari sejumlah ahli seperti N I Vavilov dan GP Murdock dalam Rahardjo(1999) dalam Sriartha (2004), menyatakan bahwa kepandaian bercocok tanam tidaklah ditemukan di satu tempat, melainkan di berbagai tempat yang berbeda, terlepas satu sama lain dan dengan jenis tanaman yang berbeda pula. Berlandaskan pada hasil studi tersebut, Koentjaraningrat dalam Rahardjo(1999) dalam Sriartha (2004), menyimpulkan adanya delapan daerah atau lokasi pusat penyebaran kegiatan bercocok tanam, yaitu;
1)      Daerah sungai-sungai besar di Asia Tenggara seperti Mekong, Irawadi, dan lainnya.
2)      Daerah sungai-sungai di Asia Timur seperti Yang Tse, dan Hoang Ho.
3)      Daerah sungai-sungai di Asia Barat Daya seperti Tigris, dan Eufrat.
4)      Daerah laut Tengah terutama Mesir, dan Palestina.
5)      Daerah Afrika Timur terutama Abesinia.
6)      Daerah Afrika Barat sekitar hulu Sungai Senegal.
7)      Daerah Meksiko Selatan
8)      Daerah Peru di Amerika Selatan.
Tiap daerah pusat penyebaran ini mengembangkan dan menyebarkan jenis tanaman tertentu, seperti daerah di Sungai Asia Tenggara merupakan daerah asal mula tanamam padi dan keladi. Daerah Asia Barat Daya merupakan daerah asal varietas gandum yang khusus seperti barley. Dari delapan pusat inilah kemudian budaya bercocok tanam itu menyebar ke berbagai daerah lainnya di seluruh permukaan di Bumi. Oleh karena itu, budaya bercocok tanam itu diwadahi dalam bentuk desa-desa kecil maka delapan daerah pusat tersebut juga merupakan asal mula terbentuknya desa yang kemudian menyebar ke berbagai tempat di muka bumi (Sriartha, 2004) .


C.    TIPOLOGI DAN STRUKTUR DESA
Tipologi desa secara umum
            Menurut Yayuk dan Mangku (2003), tipologi desa sesuai dengan mata pencahariannya sebagai berikut:
1.      Desa pertanian,
Ada dua pengertian, dalam artian sempit dan dalam artian luas. Dalam artian sempit:
a)      Desa pertanian berlahan baasah, contohnya sawah irigasi.
b)      Desa pertanian berlahan kering, contohnya sawah tadah hujan.
Desa pertanian dalam artian luas:
a)      Desa perkebunan, pemiliknya adalah masyarakat, yang dikelola secara konvensional.
b)      Desa perkebunan, pemiliknya adalah swasta, yang dikelola secara profesioanal dengan sistem bagi hasil.
c)      Desa nelayan yang mana terdapat petani tambak dan perikanan darat
d)     Desa nelayan yang mana terdapat perikanan (di pantai dan di laut)
2.      Desa peternakan
Merupakan desa yang penduduknya mempunyai mata pencaharian utama adalah peternakan. Namun saat ini tidak ada satu pun desa yang memiliki homogenitas. Meski ada mata pencaharian lain, peternakan merupakan mata pencaharian utama.
3.      Desa industri
Dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a)      Desa industri, memproduksi alat pertanian secara tradisional maupun modern, sistem upah sesuai dengan manejemen masing-masing.
b)      Desa industri, masyarakat memproduksi barang-barang kerajinan seperti perabot rumah tangga, yang terbuat dari kulit, rotan, bambu, maupun kayu dengan ukiran.
Tipologi Desa Berdasarkan Tempat Tinggal
            Menurut Yayuk dan Mangku (2003) dijelaskan bahwa, berdasarkan tempat tinggal perdesaan terdiri dari desa pegunungan, desa pantai, desa perbatasan, desa  dataran rendah, dan juga sungai.
            Desa pegunungan berada di daerah pegunungan atau minimal berada di daerah yang lebih tinggi dari tempat yang lainnya. Desa ini pada umumnya berada di sekitar lereng pegunungan dan terpisah dengan desa dataran.
            Desa pantai berada di wilayah pantai. Nelayan merupakan mata pencaharian utama dari penduduknya.
Desa dataran rendah dicirikan dengan mayoritas dataran berupa hamparan luas dengan ketinggian permukaan laut tidak terlalu tinggi. Ciri lainnya yaitu terdapat hamparan persawahan yang luas. Padi merupakan tanamam utama di daerah desa ini.
Desa sungai pada umumnya masih sedikit, di Indonesia ada di daerah pedalaman Kalimantan yang mengambang di sungai.
Dari berbagai kharakteristik desa tersebut di atas maka diperlukan pemahaman untuk keperluan pembangunan di bidang pertanian.

Tipologi desa berdasarkan luas dan kepadatan penduduknya
Klasifikasi desa  dalam Sriartha (2004;11-12) mengungkapkan bahwa desa dapat diklasifikasikan berdasarkan luas daerah desa dan kepadaatan penduduknya.
Berdasarkan kepadatan penduduk :
·         Desa terkecil, kepadatan 100/1 km2
·         Desa kecil, kepadatan penduduk < (kurang dari) 500/1 km2
·         Desa sedang, kepadatan penduduk 500-1500/1 km2
·         Desa besar, kepadatan 1500-3000/1 km2
·         Desa terbesar, kepadatan > (lebih dari) 3000/km2
Berdasarkan luas desa, ada 5 yaitu :
1.      Desa sangat kecil, luasnya 0-1 km2
2.      Desa kecil, luasnya 2-4 km2
3.      Desa sedang, luasnya 4- 6 km2
4.      Desa besar, luasnya 6-8 km2
5.      Desa terbesar, luasnya > (kurang dari) 8 km2
Menurut Lufti (2002) dalam Sriartha (2004) di dalam penelitiannya, mengenai desa-desa di provinsi daerah Yogyakarta menentukan tipologi desa-desa berdasarkan kharakteristik kekotaanya. Ada lima indikator yang digunakan yakni; kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, lahan terbangun, penduduk non pertanian, dan fasilitas sosial ekonomi. Indikator itu tersebut diukur dengan memberi skor, dan dari skor yang diperoleh kemudian ditentukan indeks kekotaannya. Berdasarkan indek kekotaannya, tipe kekotaan desa yaitu ;
a)      Desa mula, indek kekotaan sangat rendah
b)      Desa, indeks kekotaan rendah
c)      Calon kota, indek kekotaannya sedang
d)     Kota, indek kekotaan tinggi
e)      Kota lanjut, indeks kekotaannya tinggi
Indikator yang dipakai untuk untuk menentukan tipe-tipe desa tersebut adalah potensi alam, sumber daya manusia, letak desa, mata pencarian, produksi, adat, kelembangaan, pendidikan , gotong royong, prasarana dan administrasi.
Tipologi Desa di Indonesia
Dengan adanya keragaman adat budaya masyarakat Indonesia menyebakan tipologi desa yang ada berbeda pula. Selan itu juga tipologi desa di Indonesia dipengaruhi oleh warisan adat dan kebudayaannya. Pada daerah-daerah yang memegang adat, tipologi desa selain oleh mata pencaharian juga dipengaruhi oleh sistem kepemimpinannya. Akan tetapi secara umum desa di Indonesia adalah desa pertanian, perkebunan, nelayan dan pertenakan dan sedikit desa sungai (Budi Harsono,1997 dalam Yayuk dan Mangku,2003 ).
Pengelompokan desa dapat dilakukan dengan jalan membagi dengan perhitungan secara kualitatif maupun kuantitatif atas segala asfek kehidupan manusia baik secara fisik yang relatife tetap dan non fisik yang lelatif berkembang (Yayuk dan Mangku,2003 ).
Asfek fisik terdiri dari daya dukung  alam yakni; potensi gografis, iklim, kesuran tanah, potensi hutan, air, pertambangan, perikanan dan lain-lain. Asfek non fisik terdiri dari matapencarian yakni; jumlah, ragam, jenis usaha, tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat dan adat istiadat yang dianut waga masyarakat tersebut (Yayuk dan Mangku, 2003).
Dalam konteks pembangunan desa, pemerintah membedakan  Pengelompokan desa dapat dibagi menjadi 3 yaitu; Desa swadaya, desa swakarya, dan swasembada (Sriartha, 2004; 13).
1). Desa Swadaya dengan Ciri-ciri :
a)      Sebagian besar kehidupan penduduknya masih tergantung  pada keadaan alam.
b)      Hasilnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
c)      Administrasi desa belum dilaksanakan dengan baik
d)     Lembaga-lembaga desa belum berfungsi dengan baik
e)      Tingkat pendidikan dan produktivitas penduduknya masih rendah
f)        Belum mampu dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sendiri (Anonim,2008)
2). Desa Swakarya (Transisi) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Sudah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
b)      Lembaga sosial desa dan pemerintahan sudah berfungsi.
c)      Administrasi desa sudah berjalan.
d)     Adat-istiadat mulai longgar.
e)      Mata pencaharian mulai bearagam.
f)       Sudah ada hubungan dengan daerah sekitarnya (Anonim,2008).
3). Desa Swasembada memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Sarana dan prasarana desa lengkap.
b)      Pengelolaan administrasi telah dilaksanakan dengan baik
c)      Pola pikir masyarakat lebih rasional
d)     Mata pencaharian penduduk sebagaian besar di bidang jasa dan perdagangan (Anonim,2008).

Dari beberapa indicator diatas klasifikasi atau penggolongan desa berdasarkan intruksi mentri dalam negeri No:11 tahun 1972 dalam Yayuk dan Mangku (2003), penggolongan desa dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu desa swadaya, swakarya, dan swasembada.

Desa swadaya
Desa swadaya merupakan desa terbelakang dengan buaya yang masih tradisional sangat terikat pada adat istiadat atau sering disebut sebagai desa tradisional. desa ini mempunyai tingkat kesejahteraan rendah, dan sangat tergantung dengan alam. Desa swadaya ini masyarakatnya masih tergantung ada sektor ekonomi primer atau budidaya serta kurang dalam mengoptimalkan potensi alam. Menurut Yayuk dan Mangku (2003) Ciri-ciri desa swadaya adalah sebagai berikut;
a)      Lebih dari 50% penduduknya bermata pencarian di sektor primer (berburu, menangkap ikan, dan bercocok tanam secara tradisional)
b)      Produksi desa sangat rendah dibawah 50 juta rupiah/tahun.
c)      Adat istiadat masih mengikat kuat.
d)     Pendidikan dan keterampilan rendah, di mana masyarakat desa yang lulus SD di bawah 30 %.
e)      Prasarana masih sangat kurang
f)       Kelembagaan formal maupun informal kurang berfungsi dengan baik.
g)      Swadaya masyarakat sangat rendah sehingga kerapkali pembangunan desa selalu menunggu dari atas.

Desa swakarya
Desa swakarya memiliki perkembangan yang yang lebih maju dari desa swadaya. Desa ini telah memiliki landasan berkembang lebih baik serta pendudukya lebih kosmopolit selain itu ada peralihan mata pencarian dari sektor primer ke sektor lain. Menurut Yayuk dan Mangku (2003) ciri-ciri desa swakarsa adalah sebagai berikut;
a)      Mata pencarian penduduk mulai berkembang dari sektor primer ke industri.
b)      Produksi desa masih tingkat sedang , yaitu antara 50-100 juta rupiah per tahun.
c)      Adat istiadat alam keadaan transisi, di mana dominasi adat mulai luntur.
d)     Kelembagaan formal dan informal mulai berkembang.
e)      Keterampilan masyarakat dan pendidikannya berada pada tingkat sedang yaitu 30-60% telah lulus SD bahkan ada beberapa yang lulus sekolah lanjutan.
f)       Fasilitas maupun prasarana mulai ada meski tidak lengkap, paling tidak ada 4 – 6 sarana umum yang tersedia di masyarakat.
g)      Swadaya dan gotong royong dalam pembangunan desa mulai nampak walaupun tidak sepenuhnya.

Desa swasembada
Desa swasembada merupakan desa yang memiliki kemandiriaan lebih dalam segala hal terkait dengan aspek sosial maupun ekonominya. Desa ini mulai berkembang dan maju dengan petani yang tidak terikat pada adat istiadat lagi. Selain itu sarana dan prasarana telah lengkap meski tidak selengkap kota serta perokonomiannya telah mengarah kepada industri dan jasa. Perdagangan dan sektor sekunder telah berkembang. Menurut Yayuk dan Mangku (2003) bahwa secara umum ciri-ciri desa swakarsa adalah sebagai berikut;
a)      Mata pencaharin penduduk sebagian besar ada di sektor jasa dan perdagangan atau penduduknya lebih dari 55% bekerja di sektor tersier.
b)      Produksi lebih tinggi, pengasilan seluruh usaha yang ada di desa diatas 100 juta per tahun.
c)      Adat istiadat tidak lagi mengikat walaupun sebagian dari masyakatnya masih menggunakannya.
d)     Kelembagaan telah berjalan sesuai dengan fungsinya dan telah ada sekitar 7-9 lembaga.
e)      Pendidikan dan keterampilan telah tinggi 60% telah lulus SD, sekolah lanjutan bahkan telah lulus perguruan tinggi.
f)       Prasarana dan sarana baik.
g)      Penduduk sudah punya inisiatif sendiri melalui swadaya dan gotong royong dalam membangun desa.
Untuk mengetahui apakah desa tersebut termasuk desa swadaya, swakarya, dan swasembada tentu perlu indikator dan pengukuran secara tepat. Indikator yang digunakan adalah indikator fisik relatif dan nonfisik yang selalu bekembang. Indikator tetap terdiri dari kepadatan penduduk (D), keadaan alam (N), letak desa dengan pusat kemajuan (U). indikator berkembang adalah mata pencaharian (E), produksi (Y), adat istiadat (A), kelembagaan (L), pendidikan keterampilan (Pd), swadaya (Gr), serta sarana dan prasarana (P). Seluruh indikator itu kemudian kita jumlahkan (E+Y+A+L+Pd+Gr+P), Apabila nilai yang diperoleh adalah 7-11 maka termasuk desa swadaya, 12-16 adalah desa swakarya, dan 17-21 adalah sektor desa swasembada (Yayuk dan Mangku, : 45).







Dalam skematis model penilaian dapat dilihat dalam tabel berikut:

Penilaian indikator penentu dalam tipologi desa

NO
INDIKATOR
KEADAAN
SKOR
A
Indikator relatif tetap
1

Kepadatan penduduk
-kurang 200 orang/km2
D1

-200-300 orang/km2
D2

-lebih dari 300 orang/km2
D3
2
Keadan alam
-kurang
N1


-sedang
N2


-tinggi
N3

3

Orbitasi(kota yang paling mempengaruhi)
-kota provinsi
U1
-kota kabupaten
UII
-kota kecamatan
UIII
-terisorir
UIV
B
Indikator Berkembang

1

Mata pencaharian
-55% sektor primer
E1
-55% sektor sekunder
E2
-55% sektor tersier
E3

 2

Prodiksi (out put desa)
-kurang dari 50 juta
Y1
-Rp.50 - Rp100juta
Y2
--lebih dari 100 juta
Y3

3
Adat istiadat


-mengikat
-7-9 adat dilakukan
A1
-transisi
-4-6 adat dilakukan
A2
-tidak mengikat
-1-3 adat dilakukan
A3

4

Kelembagaan
-1-3 lembaga yang ada
L1
-4-6 lembaga yang ada
L2
-7-9 lembaga yang ada
L3

5

Pendidikan dan keterampilan
-kurang dari 30% lulus SD
Pd1
-30-60% lulus SD
Pd2
-lebih dari 60% lulus SD
Pd3

6

Swadaya dan gotong royong
-laten
Gr1
-transisi
Gr2
-manifes
Gr3

7

Sarana dan prasarana
-kurang (nilai 25-55)
P1
-sedang (nilai 60-90)
P2
-cukup (nilai 95-125)
P3
Sumber ; intruksi mentri daam negeri No;11tahun 1972



Stuktur Keruangan Desa
Menurut Bintarto dalam (Anonim), desa merupakan hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Perpaduan tersebut tertuang dalam kenampakannya di permukaan bumi yang tidak lain bersumber dari komponen-komponen fisiogafis, sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang saling berinteraksi. Kenampakan fisik dari sebuah desa ditandai dengan permukiman yang tidak begitu padat, sarana transportasi yang langka, penggunaan tanah yang lebih didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan. Kenampakan sosial-budaya dicirikan dengan ikatan tali kekeluargaan yang begitu erat di mana paguyuban (gemeinchaft) dengan perilaku gotong royong masyarakat masih begitu dominan.
Karakteristik kawasan permukiman penduduk di pedesaan ditandai terutama oleh ketidakteraturan dalam bentuk fisik rumah. Pola permukiman sebuah perkampungan penduduk di pedesaan dapat diidentifikasi dari situs yang berada di dekatnya, misalnya sungai. Selain itu, pola permukiman juga bisa mengindikasikan pola mata pencarian penduduknya
1)      Pola Desa
Berdasarkan faktor lingkungan fisik dan faktor lingkungan buatan manusia, bentuk dan pola desa pada dasarnnya dibedakan menjadi dua, yaiitu bentuk/pola  desa memanjang/linier dan bentuk/pola desa melingkar/radial. Bentuk pola desa memanjang biasanya terdapat didaerah sekitar pantai, sepanjang pinnggir jalan raya, sepanjang pinggir sungai. Bentuk dan  pola melingkar umumnya terdapat dilereng mengelilingi gunung. Selain itu bentuk pola melingkkar juga terdapat diddaerah dataran rendah yang dipusatkan Fasilitas pelayanan penting (Sriartha,2004;10).
1)      Pola penggunaan tanah
Menurut Jayadinata (1986) dalam Sriartha (2004)  penggunaan tanah desa dibagi 2 yakni;
v  Kehidupan sosial; dapat berupa tempat ibadah, perumahan, bale banjar  dll.
v  Kehidupan ekonomi; dapat berupa tempat transaksi (pasar), di Bali dinamakan peken
2)      Pola persebaran permukiman
Secara umum pola permukiman di wilayah pedesaan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pola memusat dan pola terpencar. Pemukiman memusat merupakan pola pemukiman yang umum terdapat di Indonesia. Pola permukiman desa dapat berupa pola permukiman  tersebar secara memusat ataupun tersebar secara linier. Tergantung pada kondisi alamnya baik itu dari segi pertanian, maupun fisiografis desa yang mencakup kemiringan lereng, kondisi lahan juga. Permukiman linear di desa dipengaruhi oleh adanya akses berupa jalan, sehinngga permukiman penduduk berada di dekat jalan saja. Sedangkan permukiman memusat dipengaruhi oleh lahan pertanian, penduduk di desa biasanya membuat rumah di lahan pertanian miliknya sendiri.
3)         Penggunaan tanah untuk kegiatan ekonomi
Penggunaan tanah untuk daerah pedesaan adalah dalam bidang pertanian, perikanan, pertenakan, kehutanan, dan sebagai industri, terutama industri kecil. Pertanian dapat dibedakan menjadi pertanian tradisional, transisional, pertanian maju. Pertanian tradisional berciri teknologi sederhana, modal rendah, tenaga kerja berupa manusia dan hewan.
Dalam konteks pembangunan tanah untuk kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, seorang sarjana dan penguasaan pertanian berkebangsaan Jerman bernama Von Thunen (Daldjoeni,1992 dalam Sriartha, 2004; 19), mengemukaan suatu teori lokasi tentang pola pertanian yang disebut dengan teori lingkaran konsentris. Menurutnya pola pertanian disuatu wilayah seperti lingkaran konsentris.
a)         Didaerah tersebut hanya ada sebuah kota dengan wilayah pertanian sebagai daerah belakangnya. Kota merupakan surplus hasil pertanian di daeah belakangnya.
b)         Hiderland memiliki keadaan lingkungan alam yang homogen dan baik untuk pertanian maupun pertenakan.
c)         Para petani di hinterland memiliki keinginan mendapatkan keuntungan yang maksimal dan mampu menyesuaikan tipe pertanian dengan peminat pasar.
d)        Biaya angkut berbanding lurus dengan jarak perjalanan ke pasar, dan semua petani menggunakan pengangkutan untuk menjual hasil pertaniannya ke kota itu segera setelah panen.

Referensi:
Anonim. 2008. Pola Keruangan Desa dan Kota. http;//geografi 161.blogspot.com/2008/10/desa-dan-kota.html’diposkan Kamis, 30 Oktober 2008. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2010.
Anonim, tt. Stuktur Keruangan Desa-Kota. http;//gurumuda.com/bse/stuktur-keruangan-desa-kota.com. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2010.
Anonim. 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Desa. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Anonim. 2010. http://slametteguh.blogspot.com/2009/02/pola-permukiman.html. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Anonim. 2010. http://www.jevuska.com/topic/pengertian+fenomena+sosial.html. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Anonim. 2010. http://anggigeo.wordpress.com/. . Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Anonim. 2010. http://alkitab.sabda.org/lexicon.php?word=kedesaan. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.
Sriartha, Putu. 2004. Geografi Perdesaan dan Perkotaan. Tidak diterbitkan: Singaraja.
Purnamawati, Indah. 2009. Ciri-Ciri Desa. Diakses di http://indahpurnamawati.blogdetik.com/category/ciri-ciri-desa diposkan tanggal 30 oktober 2009 diakses 14 oktober 2010
Yayuk dan Mangku. 2003. Sosiologi Pedesaan. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta

Komentar